Jujur, Haji adalah ibadah yang tidak bisa saya bayangkan
akan mampu menunaikannya sampai maut menjemput. Bukan, bukan karena saya tidak
pernah berdo’a atau ikhtiar menabung untuk naik haji kelak. Tapi, banyak sekali
di sekeliling saya yang fisik dan materi nya sudah mampu tapi belum menunaikan
haji. Mampu disini bukan hanya sekedar mampu tapi lebih dari cukup bahkan sudah
ada yang keliling eropa dan asia tapi untuk pergi umroh saja nanti-nanti.
Betapa kami ini sungguh haus akan hidayahMu, ya Rabb..
Alhamdulillah setelah suami menjemput dan pamit kepada
ummahat yang telah menemani saya selama ldr-an, saya langsung bertemu dengan
kedua mertua saya yang kala itu juga sedang menunaikan haji. Tidak ada yang
istimewa selama menunggu hari Arafah selain panas yang semakin menjadi-jadi.
Katanya, haji tahun ini adalah yang ter panas dari sebelumnya.
H-2 Hari Arafah. Kami menuju tenda di Mina yang telah
disediakan pemerintah. Dari jendela kaca bis, saya melihat keluar dan
terkagum-kagum karena sekarang spot yang biasa didatangi Jemaah umroh itu telah
disulap. Tenda-tenda putih yang besar dan teratur, lautan manusia yang telah
berihram, pedagang yang menyiapkan jualannya di dekat tenda. Saya segera
mencari letak kamar mandi perempuan dan menghafalnya agar tidak tersesat.
Maklum, semua tenda bentuk dan warnanya sama, isinya saja yang beda ; ada kulit
putih, kulit hitam, mata sipit, tinggi besar, pendek kecil. Ketika antri kamar
mandi pun begitu, saya dapati muslimah Thailand, Jepang, India, dan Cina.
Jadilah percakapan 5 bahasa dalam satu ruangan.
H-1 Hari Arafah. Panas semakin terik dan tidak kenal ampun.
AC dalam tenda pun meminta tolong -_- tapi semangat kami akan hari esok semakin
berkobar. Hari ini, kami menyimpan tenaga untuk besok agar ibadah saat hari
arafah bisa maksimal. Kami juga mulai memilah-milah barang yang akan dibawa ke
Arafah, bawa yang praktis dan ringan saja. Malamnya, ketua rombongan
menjelaskan tempat kita di Arafah itu sangat primitif “di dalam tenda tidak ada
AC, tidak ada kipas, kalau berdiri kepala akan terbentur dan sangat sempit”.
Hari Arafah. Setelah shalat shubuh, kami antri untuk menaiki
bis. Ada juga yang jalan kaki, tapi karena rombongan kami ada anak kecil dan
banyak wanita maka ketua rombongan memutuskan untuk naik bis. Setibanya di Arafah,
kami mencarilah tempat yang dijelaskan kemarin malam dengan bayangan di kepala,
insya Allah mental siap tidak siap harus siap. Tenda putih besar, luas,
terbuka, ada kabel colokan pula! Sepertinya salah tempat deh tapi beberapa
orang yang kami kenali sudah duluan disana. Terdengar napas lega, sungguh lega
dari beberapa orang disebelahku hahaha sepertinya bukan hanya mentalku yang
belum siap. Tetapi, matahari semakin naik dan tenda yang terbuka mulai
menimbulkan sedikit masalah. Tangan mulai mengipas, gantian kain ihram dipakai
mengipas, panitia mulai membagikan minuman dingin seakan tahu yang kami
butuhkan. Sesaat kemudian, datanglah kipas angin raksasa yang menjawab teriakan
hati kecil para Jemaah haji. Maka, do’a-do’a pada hari ini semakin khusyuk dilantunkan.
Sayapun mencari posisi tenang untuk berdo’a sendiri.
Kulantunkan do’a-do’aku dengan niat yang ikhlas, kupasrahkan
semuanya, lalu kutemukan jawaban dari salah satu do’aku di kemudian hari..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar