Selasa, 27 November 2018

Jawaban dari do'aku


Hari itu kulihat semua orang khusyuk melantunkan doa’-do’a mereka, mengangkat kedua tangan berharap do’a mereka diijabah, menangis memohon ampunan dariNya. Hari itu rasanya sakral sekali, panas yang sedari pagi menyengat  tiba-tiba berubah mendung  seakan tahu, lalu kita berpencar mencari spot terbaik untuk menyendiri “mengakui segala dosa”.

“Ya Allah, 3 tahun sudah pernikahan kami. Saya sendiri tidak tahu apakah kami berdua sudah pantas Engkau amanahkan si penyejuk hati karena kami masih banyak kekurangan. Tapi saya janji Ya Allah akan terus belajar dan belajar. Ya Razzaaq Ya Wahhaab, karuniakan kami anak-anak yang sholih, lengkapi keluarga kecil kami dengan tawa dan tangisan mereka. Berikan kami kesempatan menjadi orang tua, kami janji akan menjadi orang tua yang baik dan amanah insya Allah. Tapi jika belum saatnya, berikan kami kesabaran dan kesyukuran yang tiada batas.  Hanya kepadaMu lah tempat kami berharap dan mengadu”

Sore itu, di Arafah, kugantungkan satu harapan terbesarku di langit. Berbekal keyakinan hari itu adalah hari terijabah nya semua do’a.

Sepulang dari Mekkah, dan selesainya semua rangkaian haji, saya mendaftarkan diri di Ma’had Al Fatayaat. Ma’had yang katanya dari 700an pendaftar hanya seperempatnya yang diterima. Tekadku sudah bulat, ingin menyibukkan diri dengan Al-Qur’an dan bahasa arab, bahkan sudah menggambarkan 2 tahun disana harus sudah menyelesaikan hafalan dan menguasai ilmu bahasa arab. Berdebar-debar saat mencari nomor ku di pengumuman penerimaan. Alhamdulillah, nomorku nyempil disitu. Kupastikan sekali lagi, kurefresh halamannya, kusuruh suamiku mengecek sendiri. Yes, I’m officially a student now. Tapi, rencana Allah selalu yang lebih baik terbaik.

Setiap pagi dijemput bis ma’had, lalu belajar sampai dzuhur di ma’had. Tiba di rumah, memasak lalu menunggu suami pulang yang kadang juga tiba bersamaan dengan bisku. Begitu tiap hari selama hampir 3 bulan. Kujalani dengan senang hati, betapa tidak? Bisa menjadi istri sekaligus mahasiswi, menyiapkan makanan untuk suami lalu sorenya belajar bersama. Menjelang ujian semester, kuperketat jadwal murajaah dan belajarku. Tapi akhir-akhir ini ada yang selalu mengusikku, 10 hari telat. Sebenarnya hal ini sudah biasa bagiku, tapi paling maksimal itu 7 hari. Kuberi tahu suamiku dan kami sepakat untuk beli testpack. Satu garis. Ah mungkin karena kecapean makanya belum datang.

Setelah ujian tahfidz di ma’had, sambil menunggu bis tiba-tiba gusiku berdarah sendiri, tapi kuabaikan begitu saja. Tidak terasa, ‘tamu’ belum juga datang setelah 14 hari, malam itu saya menemani suami ke apotek, membeli testpack yang lebih mahal dan bagus. Keesokannya, setelah shalat shubuh suami dengan sedikit memaksa agar saya cepat-cepat tes karena nampaknya si istri masih ragu. Ternyata masih satu garis…….eh muncul satu garis lagi masih buram, lama kelamaan menjadi jelas. Dua garis.

Do’aku dijawab dengan cepat. Segera ku bersungkur sujud syukur sambil meneteskan air mata. Best feeling ever.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar